Senin, 28 Januari 2008

Kiat Jitu Memilih Perguruan Tinggi


BARU saja pusing akibat UAN yang standarnya tinggi, calon lulusan SMA dihadang masalah yang bikin tambah pusing. Mau ke mana setelah lulus? Yuk, kita pikirkan bareng.

Wadoh... mau nerusin kuliah apa ya

Pertanyaan ini kerap terlontar begitu seragam putih abu-abu siap ditanggalkan.

"Pasti bingunglah, mau masuk apa. Mau milih arsitek, teknik mesin, hukum, atau ekonomi, lulusannya sudah banyak," kata Andri, pelajar kelas tiga SMU Al Azhar Jakarta. Cowok yang hobi mancing ini akhirnya sudah mendaftar ke teknik industri di Universitas Pelita Harapan. Namun, tetap mengharap bisa masuk Universitas Indonesia (UI) Fakultas Teknik Jurusan Perkapalan, sebuah jurusan yang baru dibuka. Itu pun setelah "konsultasi bakat" ke seseorang di Bandung yang bisa melihat melalui tulisan tangan.

Gozi, juara Abang Mpok Bekasi 2003, mengaku punya kesulitan yang sama. Cowok yang duduk di bangku terakhir SMU 2 Tambun ini sudah mengetahui kalau ada banyak jurusan dan bidang studi khusus. "Justru karena banyak cabang dari tiap bidang itu yang bikin pusing. Takutnya salah langkah, bete deh." Dia mengaku saat ini mungkin mau memilih kuliah disain eksterior. Itu pun keyakinannya baru lima puluh persen.

Enggak salah kalau calon-calon lulusan SMA ini bingung. Sebab, yang sudah kuliah pun bisa merasa salah jurusan. Setidaknya itu yang dirasakan Aca, 19 tahun. Lulusan SMU Pembangunan Jaya, Jakarta, ini sudah mengecap bangku perguruan tinggi negeri. Ia diterima di Jurusan Sastra Jepang Universitas Indonesia, namun baru satu semester merasa enggak cocok. Akhirnya, ia memutuskan keluar dan kini sedang mendaftar ke jurusan ilmu komunikasi massa di London School, Jakarta.

"Waktu lulus SMU sudah pasti banget, yakin ambil sastra Jepang. Eh, setelah keterima, rasanya potensiku tidak tergali di sana. Waktu kelas dua SMU kan aku pernah ikut tes bakat, disarankan ambil disain interior atau komunikasi massa. Benar juga setelah merasakan kuliah satu semester, sepertinya jurusan komunikasi lebih menarik. Kayaknya, dulu waktu milih UI karena pengaruh teman."

Ada ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan saat memilih kuliah, seperti diuraikan berikut.

Dapat perguruan tinggi (PT) yang mutunya bagus memang perlu. Tapi faktor utama yang perlu dipertimbangkan sebelum itu, kita harus tahu apa jurusan yang paling cocok dengan minat dan bakat kita. Kalau enggak, kuliah bisa keteteran. Buat yang selama ini aktif di organisasi atau ekstra kurikuler (eskul), mungkin enggak susah menentukan minatnya. Atau coba minta saran dari orang sekitar, yang mungkin bisa melihat potensi kita.

"Ah, tapi gue nyesel mengikuti kata guru pembimbing. Dari SMP gue sudah minta utak-atik komputer. Malah di tempat les sempat diminta menggantikan ngajar kalau gurunya enggak masuk. Nilai pelajaran gue juga bagus semua buat bidang eksakta, terutama matematika yang berguna banget buat kuliah di jurusan komputer. Tapi waktu konsultasi, guru pembimbing SMU menyarankan gue jangan masuk kuliah komputer. Katanya komputer cukup kursus saja. Gue disarankan masuk arsitek. Memang gue diterima di negeri dan swasta terkenal untuk teknik arsitek, tapi tetap merasa salah jurusan deh," kata Valens menyesal, cowok lulusan SMU DeBritto, Yogyakarta, yang akhirnya berpaling ke dunia IT. Dia terpaksa harus belajar lagi.

Memang faktor utama yang harus dipertimbangkan adalah minat kita. Hampir bisa dipastikan tidak ada mahasiswa yang berhasil dalam studinya jika bertentangan dengan minatnya. Saran orang lain boleh dipertimbangkan. Tapi, kitalah yang akan menjalani proses kuliah bertahun-tahun ke depan. Jadi, keputusan tetap di tangan kita.

Untuk yang merasa telat menggali minat selama ini, bisa datang ke lembaga psikologi terapan buat tes minat dan bakat. Arahkan pemilihan perguruan tinggi ke program studi sesuai minat dan bakat. Dari situ, cari info untuk menjajaki kira-kira dari sekian saran, mana yang kita mampu dan enjoy menjalaninya.

Oh ya, jangan cepat tergiur dengan nama besar suatu perguruan tinggi semata, seperti yang dialami Aca di atas. Gali minat dan pikirkan di mana potensi kita bisa berkembang.

Mengumpulkan informasi jurusan yang kita incar itu perlu. Modal nekat hanya akan membuat kita bengong di kampus, enggak ngerti apa-apa. Misalnya, mentang-mentang sekarang zamannya internet, kita main pilih jurusan Sistem Informatika. Sebab, kita merasa hobi bergaul sama komputer. Selama ini senang main games dan utak-atik komputer, dipikir kuliahnya akan seperti itu. Begitu masuk kuliah, dorrr...! Mata kuliah matematika "bertebaran", bikin pingsan kita yang matematika kalkulusnya pas-pasan waktu SMA. Jadi daftar mata kuliah perlu ditelaah, tuh!

Selain memelototi silabus kuliah, yang bisa dipinjam dari senior, Gozi punya cara penjajakan lain. "Gue ikut kursus disain. Rasanya gue minat ke disain, tapi cabangnya kan banyak. Gue jajal saja, ikut disain grafis, disain interior. Selesai enggak selesai, tapi gue bisa mengira-ngira kira-kira gue mampunya di mana, dan lebih senang yang mana. Bisa tanya-tanya juga sama orang yang kerjanya di disain, jadi gue dapat masukan baru." Wah, boleh dicontoh nih.

Kemampuan keuangan sangat menentukan pilihan. Kuliah di perguruan tinggi melibatkan berbagai komponen biaya. Mulai uang pendaftaran, uang gedung, uang kuliah pokok, uang SKS (satuan kredit semester), uang pratikum, uang ujian, uang jaket, uang buku, uang fasilitas kemahasiswaan. Belum lagi biaya indekos (kalau jauh dari rumah), biaya fotokopi, transpor, dan buku.

Sebelum mendaftar, tanyakan semua biaya yang harus kita bayar dan cara pembayarannya. Ada uang gedung yang boleh diangsur beberapa kali, ada yang bayarnya lebih ringan jika tes masuk kita masuk peringkat atas. Pokoknya masalah biaya ini perlu diperhitungkan semua agar kita tak terancam putus sekolah.

Yang bikin Gozi dan Indra mengerutkan kening ialah prospek pekerjaan setelah lulus. Ada jurusan yang sepi peminat karena dianggap enggak laku. Ada yang untuk masuk kuliah, saingannya (passing grade) ketat. Jangan pesimistis kalau dibilang suatu jurusan sudah kelebihan lulusan (jenuh). Itu bergantung pada kepintaran kita memprediksi dan membuat strategi. Contohnya, walau banyak sarjana hukum, melihat banyaknya kasus hukum yang berani diangkat, makin beraninya orang menuntut hak dan keadilan, terpuruknya perusahaan dan bank sampai artis yang memerlukan penyelesaian hukum, rasanya masuk akal kalau kita tetap ambil jurusan hukum, kalau memang itu minat kita.

Tentu saja kita juga perlu memperhitungkan globalisasi, yang menuntut standar tingkat dunia. Untuk memperkaya bidang, perhatikan kemampuan berbahasa asing (bukan cuma bahasa Inggris), sampai keterampilan teknologi. Pokoknya, asah prediksi untuk mengantisipasi masa depan. Diskusi sama teman-teman dan orang yang ahli membantu kita untuk optimistis mengatur rencana.

Pikirkan reputasi PT yang kita pilih. Apakah secara umum dikenal sebagai PT yang baik? Fasilitasnya lengkap enggak? Kalau perlu cari tempat kuliah yang lulusannya jadi rebutan perusahaan pemakai, atau banyak yang berhasil mandiri. Banyak pengusaha yang senang merekrut lulusan almamaternya.

Untuk soal fasilitas, enggak ada salahnya kita mencoba menanyakan kapan mahasiswa berkesempatan menikmati fasilitas canggih yang disediakan. Jangan-jangan cuma beberapa kali saja, atau hanya untuk mahasiswa tingkat akhir saja.

"Waktu zaman gue kuliah, fasilitas lab jurusan broadcasting payah. Kameranya kuno banget. Tapi yang sekarang sudah canggih sih," kata Dennis, sutradara film Kwaliteit 2.

Buat yang enggak diterima di negeri, status akreditasi merupakan faktor penting dalam menilai perguruan tinggi swasta (PTS) . Sebab, ini menunjukkan mutu PTS dalam menyelenggarakan program studi. Jangan terjebak sama status disamakan dari suatu PTS. Enggak ada istilah PTS disamakan. Yang benar, status akreditasi diberikan pada program studi. Misalnya, suatu PTS punya lima program studi, masing-masing jenjang S-1 dan D-3. Perhatikan mana program studi yang dapat status disamakan, dan untuk jenjang yang mana? Kalau cuma dua dari program studi yang disamakan, bukan berarti PTS tersebut statusnya disamakan.

Apa pentingnya status akreditasi? Status ini menentukan kemandirian suatu program studi dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, seperti menyelenggarakan ujian negara dan menerbitkan ijazah. Kalau sudah disamakan, mahasiswanya enggak usah lagi ikut ujian negara yang dilaksanakan Kopertis, dan ijazahnya cukup disahkan oleh PTS tempat kita kuliah.

Lalu, karena kualitas keilmuan kita ditentukan juga oleh dosen, perhatikan rasio dosen yang dimiliki. Undang-undang perguruan tinggi mensyaratkan tingkat perbandingan antara dosen tetap dan mahasiswa 1:30 untuk bidang studi IPS, dan 1:25 untuk bidang studi IPA. Sebelum mendaftar, cobalah untuk mencari tahu jumlah dosen tetap di PTS tersebut. Berapa orang yang bergelar S-2, S-3, dan mungkin ada yang sudah bergelar profesor.

Terakhir, pendidikan di Indonesia mengenal dua jalur pendidikan. Yaitu jalur akademik (jenjang sarjana) dan jalur profesional (jenjang diploma). Jalur akademik menekankan penguasaan ilmu pengetahuan, yang profesional menekankan keahlian di bidang tertentu. Lulusan diploma dipersiapkan untuk langsung masuk dunia kerja. Jalur akademik masa kuliahnya sekitar delapan semester, sedangkan D-3 enam semester.

Balik pada soal kebingungan Indra, lulusan di suatu bidang mungkin sudah jenuh. Tapi bukan berarti kita enggak bisa berhasil. Langkah awal dimulai dengan memilih kuliah yang tepat. Dengan begitu, separuh keberhasilan sudah di tangan. Ayo, semangat ya!