Sabtu, 24 Mei 2008

Kualifikasi Guru Jadi Masalah Negara Besar

Nusa Dua, Jakarta - Peningkatan jumlah dan kualitas guru menjadi isu utama dalam pertemuan sembilan menteri pendidikan negara-negara berpenduduk besar. Hanya sekitar 50 persen guru yang mempunyai latar belakang pendidikan sarjana kependidikan atau pendidikan khusus menjadi guru.

Di Indonesia, hanya sepertiga guru berlatar belakang pendidikan setara sarjana. Di antara negara-negara berpenduduk besar itu, hanya Brasil dan Meksiko yang memiliki guru dengan pendidikan memadai. Adapun di China, India, Nigeria, dan Pakistan, jumlah guru yang berpendidikan tinggi, terlebih lagi khusus di bidang kependidikan, masih di bawah 40 persen.

Demikian terungkap dalam jumpa pers terkait pertemuan Seventh E-9 Ministerial Review Meeting on Education for All yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Minggu (9/3). Grup E-9 beranggotakan para menteri pendidikan dari sembilan negara berpenduduk besar di dunia, yaitu Banglades, Brasil, China, India, Indonesia, Meksiko, Mesir, Nigeria, dan Pakistan. Pertemuan E-9 ketujuh tersebut diselenggarakan di Bali, 10-12 Maret 2008.

Dibahas luas

Guru dipandang sebagai unsur sangat vital dalam pembangunan pendidikan. Dalam pertemuan para menteri tersebut, isu tenaga pendidik atau guru dibahas secara luas, mulai dari pendidikan guna persiapan tenaga guru, perkembangan karier guru, serta penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran jarak jauh.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal menyatakan, ketersediaan guru masih menjadi masalah besar. Untuk mencapai target Education for All di negara-negara UNESCO atau Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Pendidikan, Sosial dan Kebudayaan, dibutuhkan sekitar 18 juta guru baru, dan 40 persen dari jumlah tersebut dibutuhkan oleh sembilan negara berpenduduk besar tersebut.

Chief Section for Teacher Education Division of Higher Education UNESCO Caroline Pontefract mengungkapkan, tidak mudah mendapatkan orang yang tepat untuk menjadi guru. Apalagi, disertai dengan latar belakang pendidikan atau akademik yang baik dan relevan. Salah satu penyebabnya ialah kurang dihargainya profesi guru.

”Bagaimana membuat karier guru lebih dihargai dan kesejahteraan memadai,” ujarnya.

Caroline menambahkan, untuk menentukan dan mengukur kebijakan negara terhadap persoalan guru harus berdasarkan bukti-bukti yang terangkum dalam sistem koleksi data.

Fasli menambahkan, di Indonesia telah ada upaya memerhatikan kualitas dan kesejahteraan guru. Di masa lalu, anggaran lebih banyak disalurkan untuk pembangunan fisik. Pembangunan sumber daya manusia, termasuk guru, masih sangat kurang sehingga status dan kebanggaan menjadi guru terus menurun.

”Indonesia telah memulai dengan ide mencanangkan guru sebagai profesi. Tantangannya ialah menjadikan guru sebagai profesi yang menarik dan menjaga jalur karir mereka,” ujarnya. (INE)